Saturday, September 16, 2017

Artikel Mahasiswa/i FPSB: “Dilema Peristiwa 65” Sebuah Tinjauan Sejarah


“Dilema Peristiwa 65”
Sebuah Tinjauan Sejarah
Oleh Syahagum Azumma Zamaris (Hubungan Internasional)

Dalam sebuah negara yang baru saja merasakan kemerdekaan pastinya merasakan gejolak-gejolak berskala eksternal maupun internal, itu juga yang pernah dialami oleh Indonesia setelah merdeka, pada waktu itu masih mengalami gejolak internal khususnya yang mengarah menuju ketidakstabilan politik. Salah satu gejolak poltik di Indonesia yang cukup signifikan pasca kemerdekaan yaitu G30S/PKI (Gerakan 30 September), yang merubah konstelasi politik Indonesia secara domestik maupun internasional. Naiknya Soeharto menjadi pemimpin bangsa sebagai tanda mulainya orde baru yang mengikat sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali kasus G30S/PKI. Sejauh ini, Soeharto selalu diindetikan dengan pahlawan bangsa, bapak pembangunan bangsa karena beliau mampu mengakomodir pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok revolusioner. Akan tetapi, apakah pernah terbayangkan jika peristiwa G30S/PKI merupakan sebuah kasus yang direncakan ataupun sebuah kasus yang menjadi kendaraan politik Soeharto untuk memuluskan kepentingannya menjadi pemimpin Indonesia. Selama ini juga, cerita maupun analogi yang berasal dari orde baru masih dianggap sahih dalam kaitan kebenaran sejarah. Hal yang menjadikan peristiwa tersebut semakin kurang relevan adalah adanya film-film tentang G30S/PKI yang tidak sesuai dengan kenyataanya, dimana salah satu sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI yaitu Arifin C. Noor merasakan kecewa akibat film yang disutradarinya dipaksa tunduk oleh sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya.[1]
            Dari sekilas penjabaran tersebut, dapat kita maknai secara sederhana bahwa telah terjadi pembenaran yang menutupi sebuah kebenaran dalam catatan sejarah Indonesia. Dampak yang ditimbulkan adalah bagi para eks korban ataupun keluarga korban dari G30S/PKI yang belum tuntas secara hukum maupun rekonsiliasi dari pihak-pihak yang terkait. Dimana hal tersebut masih menjadikan Indonesia seolah-olah tertutup dan tidak mau terbuka dengan sejarah pahit yang pernah dialami, sehingga masih sering terjadi simpang siur isu dan berita yang akan terus stagnasi dan akan menjadi bangsa yang berdiri diatas kebohongan jika tidak ada upaya menguak kebenaran dan mengulas secara tendensius.
Dari peristiwa G30S/PKI terdapat beberapa opsi yang memiliki tujuan untuk membuka kebenaran sejarah yang selama ini ditutupi oleh rekayasa sejarah. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengganti eks pelaku G30S/PKI yang masih berada dipusaran politik Indonesia dengan generasi muda yang benar-benar ingin menunjukan transparansi sejarah. Dalam hal ini eks pelaku G30S/PKI yang masih tarik menarik kepentingan dalam perpolitikan Indonesia sangat dekat dan berafiliasi dengan orde baru, sehingga nilai-nilai orde baru akan tetap dipegang dan salah satu kebohongan sejarah akan tetap ditutupi. Selain itu, hal tersebut memiliki keuntungan bagi generasi dimasa depan.
Selama ini, kasus G30S/PKI menimbulkan beberapa masalah khususnya terhadap keluarga korban yang belum mendapatkan keadilan secara hukum yang cukup, sehingga masih ada permasalahan hingga saat ini. Keterlibatan beberapa pihak yang ikut serta dalam peristiwa tersebut membuat beberapa elemen masyarakat yang merupakan keluarga korban menjadi kehilangan kepercayaan terhadap sebuah instansi. Dalam hal ini instansi yang terkait adalah militer, dimana pada waktu peristiwa G30S/PKI, militer mengatasnamakan bela negara melakukan pembantaian secara masal kepada orang-orang yang terindikasi komunis, gerwani, serta elemen masyrakat lainnya. Sehingga peristiwa tersebut bagi generasi yang mengalami merupakan sebuah tindakan yang dirasa brutal, dan hukum pada waktu itu sudah jelas tidak berlaku bagi masyarakat dan keluarga yang menjadi korban. Atas dasar hal tersebut, maka dari instansi terkait harus melakukan rekonsiliasi terhadap keluarga korban yang beberapa diantaranya masih meminta tuntutan keadilan. Dimana dalam hal ini, rekonsiliasi yaitu sebuah proses memulihkan kembali persahabatan yang telah dibangun (korban G30S/PKI – Militer), karena doktrin umum yang berkembang dimasyrakat bahwa mereka berpikiran bahwa militer bersama rakyat telah menyelamatkan Indonesia dari sebuah revolusi tanpa memikirkan dibalik semua itu bahwa terdapat ratusan ribu masyarkat Indonesia yang menjadi korban.
Langkah selanjutnya yang dapat ditempuh untuk menyeleseikan masalah dari peristiwa G30S/PKI tidak hanya ranah domestik, tapi juga diluar negara. Dampak dari G30S/PKI tidak hanya berimbas dalam negeri saja, banyak orang Indonesia diluar negeri juga menjadi korban dari peristiwa tersebut. Contoh dampak diluar Indonesia dari peristiwa G30S/PKI adalah adanya eksil diberbagi negara seperti Tiongkok dan juga Belanda. Eksil adalah beberapa kelompok masyarakat yang berasal dari Indonesia yang menjadi korban G30S/PKI dimana masyarakat tersebut tidak dapat kembali ke Indonesia dikarenakan dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintahan orde baru. Hal tersebut khususnya menimpa beberapa mahasiswa yang pada tahun tersebut sedang belajar diluar negeri, ketika peristiwa tahun 1965 tersebut terjadi, beberapa mahasiwa dari Indonesia sedang berada di negara blok komunis dengan berbagai alasan, dan ketika peristiwa tersebut meletus mereka langsung kehilangan kewarganegaraan dan tidak dapat kembali ke Indonesia, selain itu juga terpisah dari keluarganya.[2] Langkah yang ketiga yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memulangkan kembali eksil yang berada di Indonesia dan melakukan rekonsiliasi terhadap keluarga eksil yang sudah bertahun-tahun berpisah dengan keluarga. Dengan demikian, keluarga eksil tersebut akan terasa dihormati secara kewarganegaraan. Selain itu, dampak lain yaitu memulihkan nama Indonesia secara internasional yang notabenya adalah penggagas HAM (hak asasi manusia).
Untuk menuntaskan permaslahan G30S/PKI memang tidaklah mudah, akan tetapi bagi generasi penerus, hal tersebut akan menjadi masalah dan akan membebani bangsa jika tidak dikupas secara tuntas. Selain itu, proses menjadi nilai yang sangat penting agar keterbukaan sejarah peristiwa G30S/PKI benar-benar akurat tanpa adanya rekayasa kepentingan politik dan lainnya.




[1] Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto : Fakta dan Kesaksian para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI, Jakarta, Mediakita, 2006, p.11.
[2] Amin Mudzakir, Hidup di Pengasingan : Eksil Indonesia di Belanda, vol.7, no.2, 2015, p.171-3.

0 comments:

Post a Comment

Contact

Talk to us

Untuk Informasi lebih lanjut mengenai Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya bisa Mengunjungi Alamat kami dan Media Sosial Dibawah ini

Address:

Kantor Bersama LEM FPSB UII,Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia, Jl.Kaliurang KM 14.5 Sleman Yogyakarta

Work Time:

Daily Opened,8am-5pm

Phone:

081915339444 / id Line : @vgy4010w

LEM FPSB UII. Powered by Blogger.